Sultan Hamengkubuwana IX, Pahlawan Nasional

Stok Habis
Gambar Produk 1
Rp 0
Ukuran: 14 x 21 cm
Kertas Isi: BookPaper bw + color
Jumlah: x + 104 hlm
Sampul: ArtPaper/Kinstruk 230 gr
Penerbit: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktoral Sejarah dan Nilai Budaya Jakarta
Terbit: 2012
BABI
PENDAHULUAN

Tulisan ini adalah salah satu naskah Biografi Pahlawan Nasional yang diterbitkan oleh Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (IDSN). Sesuai dengan tujuan proyek, maka penulisan naskah ini akan digunakan untuk:

Pertama, mengungkapkan kisah kehidupan Pahlawan Nasional Sri Sultan Hamengku Buwana IX, agar dijadikan suri tauladan; Kedua, dapat mewariskan, nilai-nilai yang luhur dari perbuatan, amalan dan tingkah laku kehidupan Pahlawan Nasional Sri Sultan Hamengku Buwana IX; Ketiga, memelihara kenangan tentang para pahlawan, termasuk Pahlawan Nasional Sri Sultan Hamengku Buwana IX yang telah memberikan darma baktinya kepada negara, nusa, dan bangsa Indonesia.

Mengingat waktu yang sangat terbatas untuk menulis naskah ini, maka penulis naskah ini tidak dapat menyajikan sebuah kisah kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwana IX dalam arti yang sempurna dan selengkap-lengkapnya. Menulis biografi tokoh yang memiliki pengalaman hidup yang luar biasa seperti Sri Sultan Hamengku Buwana IX, membutuhkan waktu yang panjang. Dengan waktu yang panjang itu, penulis dapat leluasa mengumpulkan sumber tertulis, audio-visual, media elektronika, ataupun sumber lisan, sehingga dapat mengungkapkan kisah biografi mendekati realitasnya.

Meskipun proses penulisan biografi kepahlawanan Sri Sultan Hamengku Buwana IX ini hanya diberi waktu yang amat singkat, namun tim peneliti dan penulisan ini berusaha untuk bekerja keras berjalan di atas metode penulisan sejarah. Dengan kemampuan yang ada, mengumpulkan sumber primer dan sekunder, mengadakan wawancara, sehingga dari bahan-bahan itu direkonstruksi menjadi sebuah tulisan biografi ini.

Tim penulisan ini berusaha mengumpulkan sumber sebanyak mungkin, melalui seleksi awal berdasarkan relevansinya, kemudian diadakan kritik sumber yaitu pada kritik ekstern untuk mendapatkan sumber yang autentik dan pada kritik intern untuk mendapatkan sumber yang kredibel. Dengan demikian penulisan ini dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.

Dalam penyajian ini, di samping inti penyorotan adalah kehidupan pribadi Sri Sultan Hamengku Buwana IX, disinggung juga keadaan lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat serta budayanya, semangat zaman, atau tanda zaman pada waktu itu. Lingkungan keluarga dalam hal ini punya arti penting, karena Sri Sultan Hamengku Buwana IX adalah raja, yang waktu kecil hingga pertumbuhannya tidak terlepas dari tradisi keraton.

Dari suasana kehidupan zamannya, Sri Sultan Hamengku Buwana IX hidup pada zaman Belanda, pendudukan Jepang, kemerdekaan, dan zaman pembangunan. Di tengah zaman-zaman itulah Sri Sultan Hamengku Buwana IX hidup dan menjadi pemuka di dalamnya. Ia menjadi orang penting yang sangat diperhatikan oleh kawan maupun lawan, dan ia pun menjadi tumpuan hati nurani rakyat.

Sri Sultan Hamengku Buwana IX sebagai pewaris kerajaan Mataram Islam, ia mempunyai jiwa pejuang untuk melawan setiap bentuk penjajahan, dan membela masyarakat yang tertindas. Meskipun pada mulanya ia sekolah di lingkungan pendidikan Belanda, namun jiwa patriotismenya tetap kokoh. Oleh karena itu, ketika Republik Indonesia Merdeka, Sri Sultan Hamengku Buwana IX beserta seluruh jajaran kerajaan dan rakyat Ngayogyakarta Hadiningrat, menyatakan diri mendukung negara RI dan berdiri dalam lingkungan Negara Republik Indonesia. Keputusan semacam juga dinyatakan oleh Sri Paku Alam VIII. Oleh karena itulah, Wilayah Daerah Yogyakarta, kemudian dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta, disebut dalam UUD 1945 pasal 18.

Dalam situasi negara RI yang baru merdeka, Sri Sultan Hamengku Buwana IX banyak memberikan bantuan, baik tenaga, pikiran, bahkan sampai ikut mengorbankan hartanya untuk kepentingan Negara dan Bangsa Indonesia. Sri Sultan Hamengku Buwana IX aktif dalam perjuangan baik di tingkat daerah maupun pusat, di berbagai bidang, antara lain menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagai Menteri Pertahanan. Sri Sultan Hamengku Buwana membantu pendidikan, sehingga Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dipinjamkan untuk kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yang berdiri tahun 1949. Sri

Sultan Hamengku Buwana IX memiliki jasa-jasa yang banyak, memiliki peran yang menentukan bagi Bangsa dan Negara Indonesia, dan memiliki jiwa patriotik, sabar, serta mengayomi rakyat. Hal ini tidaklah dapat diuraikan satu persatu dalam pendahuluan ini. Oleh Karena itu akan diuraikan satu persatu dalam beberapa bagian atau bagian dalam tulisan ini. Agar susunan biografi ini runtut, maka dalam penguraiannya dibagi dalam beberapa bagian, yaitu:

Bab I: Pendahuluan, memuat hal-hal yang menjadi tujuan penulisan dan diuraikan pula sistematika penulisan.

Bab II: Membicarakan kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwana IX dari masa kanak-kanak sampai dengan masa penjajahan Jepang. Di dalamnya memuat keadaan lingkungan keluarga dan masyarakat, serta zamannya. Dimuat juga tentang proses kenaikan tahta Sri Sultan Hamengku Buwana IX.

Bab III : Membahas kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwana IX pada awal Kemerdekaan Republik Indonesia sampai tahun 1965. Di dalamnya menggambarkan peranan Sri Sultan Hamengku Buwana IX dalam menghadapi gejolak politik era Demokrasi Terpimpin.

Bab IV: Mengisahkan kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwana IX pada era Orde Baru sampai akhir hayatnya. Di dalamnya ditampilkan peranan Sri Sultan Hamengku Buwana IX dalam bidang Sosial, Ekonomi, Keagamaan, sampai dengan Olah Raga.

Bab V : Penutup, di dalamnya memuat simpulan dari Peranan Kepahlawanan Sri Sultan Hamengku Buwana IX, sebagai suri tauladan yang amat berharga bagi generasi penerus.

***

BAB II
KEHIDUPAN SRI SULTAN HAMENGKU BUWANA IX PADA MASA KOLONIAL BELANDA SAMPAI MASA PENDUDUKAN JEPANG

2.1 Masa Kanak-Kanak
Pada hari Sabtu Pahing, tanggal 12 April 1912 atau menurut perhitungan Jawa tanggal 25 Rabingulakir tahun Jimakir 1842 di kampung Sompilan, Jalan Ngasem 13 Yogyakarta, lahir seorang putra dari seorang wanita yang bernama R.A. Kustilah, seorang putri Pangeran Mangkubumi.) Selanjutnya wanita ini menyandang gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom yang merupakan garwopadmi dari Gusti Pangeran Haryo Pruboyo. Seorang putra yang lahir pada malam hari itu setelah “sepasar” (lima hari) diberi nama Dorojatun. Pemberian nama itu oleh orang tuanya diharapkan agar dikemudian hari Dorojatun memiliki derajat yang tinggi, dapat mengemban kedudukan yang luhur, dan selalu menmiliki budi pekerti yang baik, walau memegang kekuasaan yang besar. Nama ini ternyata memenuhi harapan orang tuanya karena ternyata sebelum Dorojatun berusia 3 tahun ayahnya diangkat menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom untuk kemudian dinobatkan menjadi Sultan Hamengku Buwana VIII.

Demikian pula, pada gilirannya Dorojatun diangkat menjadi “Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Nirendra ing Mataram” dan dinobatkan menjadi “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Hamengku Buwana Senopati Ingalogo Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifutullah IX".

Gelar ini memiliki arti bahwa Sultan adalah penguasa di dunia, dan juga Senopati Ing Ngalogo yang memiliki arti bahwa Sultan mempunyai kekuasaan dalam menentukan perdamaian atau peperangan dan panglima angkatan perang pada saat terjadi peperangan. Di samping itu, Sultan adalah Abdurrahman Sayidin Panatagama yang berarti penata agama sebab Sultan diakui sebagai Kalifatullah yang menjadi pengganti Nabi Muhammad SAW.3) Dengan demikian, Sultan memiliki anugerah dari Tuhan untuk memegang kerajaan dan memiliki kekuasaan militer, politik, dan agama yang absolut.

Demikian pula, nama ini sesuai dengan pelakunya karena Dorojatun yang mungil dengan senyuman yang lucu di kemudian hari ternyata menjadi seorang pahlawan yang berjiwa besar dalam perjuangan melawan penjajah.

Pada masa kecil, Dorojatun hidup bersama-sama Ayah, Ibu dan saudara-saudara di Purubayan dalam suasana yang bahagia, tetapi tidak lama sebelum Dorojatun melampaui usia balita, kedua orang tuanya berpisah. Ibu Dorojatun, Raden Ayu Adipati Anom dipulangkan kembali ke rumah, orang tuanya K.G.P.A. Mangkubumi. Dengan demikian, putri yang malang ini berpisah dari suami dan putranya, meskipun tetap memegang kedudukan sebagai garwo padmi hingga akhir hidupnya.

Sebelum cukup umur untuk mengikuti sekolah, Dorojatun belajar pada Juffrouw Willer memasuki sekolah Frobel (Taman Kanak-kanak) di Bintara, Kidul. Setelah Dorojatun berumur empat tahun, oleh ayahnya dipindahkan untuk dipondokkan pada keluarga Mulder, seorang kepala sekolah pada Neutrale Hoillands Javaanse Jongens School. Selanjutnya masuk sekolah 1 Ste Eupopeesche Lagene School B terletak di sebelah Selatan Loji, di Kampementstraat (sekarang bernama Jalan P. Senopati).

Di sekolahan ini, Dorojatun tidak menyelesaikan sekolahnya dan pindah di sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens Schools) Dengan demikian, Dorojatun sekecil itu sudah harus berpisah dari ayahnya, belaian kasih ibunya, dan perawatan dari keluarga dekatnya. Sudah sewajarnya kalau ia terkadang menangis, terutama sepulang sekolah sehingga para kerabat keraton menuduh Hamengku Buwana VIII bersifat kejam. Di sinilah nampak pilihan Sultan dalam memberikan pendidikan kepada putra-putranya yang didasarkan pada pertimbangan pikiran yang progresif untuk memajukan pendidikan putra-putranya.

Keputusan Hamengku Buwana VIII ini sungguh mencengangkan baik para kerabat keraton maupun masyarakat feodal yang masih memegang tradisi kuat dalam berinteraksi dengan masyarakat. Mengapa putra-putranya harus hidup di luar keraton dan diasuh oleh orang Belanda ? Apakah hal ini tidak akan menciptakan sikap putra-putranya menjadi “kebelanda-belandaan”.

Pilihan Hamengku Buwana VIII dalam memberikan pendidikan putra-putranya, hidup penuh dengan sanjungan dan pemujaan di dalam keraton itu dipandang akan tidak menguntungkan bagi kemajuan putra-putranya. Adapun pilihan Hamengku Buwana VIII mengenai pemberian pendidikan putra-putranya di luar keraton diharapkan putra-putranya dididik secara sederhana, tidak diistimewakan, hidup secara disiplin, dan agar berani menghadapi tantangan hidup yang membutuhkan banyak perjuangan. Oleh karena itu, putra-putranya dititipkan pada kenalannya dari keluarga Belanda.

Dengan dititipkannya pada keluarga Mulder, Dorojatun menjadi anggota keluarga Mulder. Selanjutnya ia diberi nama panggilan Henkie yang berarti Henk yang kecil. Nama ini diambil dari nama Hendrik yaitu nama Pangeran Hendrik, suami Ratu Wilhelmina dari Negeri Belanda. Selanjutnya nama ini dipakai pada waktu sekolah dan ketika kuliah di perguruan tinggi bahkan setelah selesai kuliah khususnya bagi teman-teman dekatnya.”

ORDER VIA CHAT

Produk : Sultan Hamengkubuwana IX, Pahlawan Nasional

Harga :

https://www.pustakasawerigading.com/2023/07/sultan-hamengkubuwana-ix-pahlawan.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi